“Mas, aku nggak bisa,
beneran nggak bisa. Aku masih labil untuk jadi koordinator asisten. Serius mas,
kalau aku bisa aku nggak akan nolak.”
“Nggak ran kamu bisa,
nggak ada lagi yang lebih cocok jadi koordinator diantara kalian selain kamu.
Siapa yang bisa coba? S******, dia masih childish banget. F****, dia jarang ke
lab. R****, kamu tau sendiri dia kayak gimana. Ayo ran nggak ada lagi. Masa kamu
nggak mau aku lulus? Kalau aku yang jadi koordinator, nanti skripsiku gimana?
Please, tolong aku ya. Aku janji nggak akan ninggalin lab dan terus bantu2
kamu.”
Percakapan
itu rasanya masih terkesan dengan jelas, mungkin karena hal itu terlalu sering menjadi topik pembicaraan.
Aku tidak pernah membayangkan
impianku menjadi seorang ketua organisasi beberapa tahun yang lalu terwujud
saat ini. Dulu, aku sangat ingin menjadi pemimpin sebuah organisasi karena
rasanya menjadi pemimpin itu sangatlah membanggakan. Rasanya bila menjadi pemimpin maka semua orang akan
menghormatiku. Aku akan diperhitungkan
bahkan disegani di lingkungan sosial manapun. Aku akan punya organisasi yang bisa aku kendalikan semauku dan di organisasi itu, aku bisa menjalankan semua ide yang aku punya. Aku bisa mewujudkan semua harapanku yang rata-rata penuh dengan keidealisan. Sejak kecil, aku telah bermimpi menjadi seorang pemimpin.
Namun, seiring dengan perjalanan organisasiku hingga saat ini, aku menjadi paham bahwa menjadi seorang
pemimpin bukanlah sekedar memuaskan hasrat untuk dihargai dan mendapat penghormatan dari orang lain. Di sini, di posisi sebagai pemimpin, harus ada rasa tanggung jawab, harus ada kekuatan penuh, harus ada kesabaran, kebijaksanaan, dan yang tidak kalah penting harus ada sifat baik yang menjadi tauladan bagi anggota. Di sini, di titik ini ada beban berat yang harus kubawa.
Satu hal penting lain yang harus aku garis bawahi -yang mematahkan semua pandanganku tentang pemimpin- adalah bahwa menjadi
pemimpin bukan hanya sekedar untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri -kehormatan- tapi juga dapat memberi kehormatan, manfaat, dan kesejahteraan pada anggota organisasi dan masyarakat. Dan pemimpin yang sejati adalah bukan hanya menjadi pemimpin yang baik di mata manusia namun tetap menjadi pemimpin yang baik walaupun tak ada manusia yang melihat sebab masih ada Allah swt yang selalu melihat. Itulah pemimpin sejati. Setelah memahami hal tersebut, aku tidak bisa
lagi bermimpi untuk menjadi seorang pemimpin. Keinginanku menjadi pemimpin yang hanya sekedar untuk mendapatkan penghormatan dan pencapaian ambisi tidak membuatku pantas menjadi pemimpin atau bahkan hanya sekedar berharap jadi pemimpin. Tidak itu tidak benar. Apalagi sifatku ini yang tidak pantas dimiliki seorang pemimpin.
Otoriter
Belakangan ini aku sadar kalau aku memiliki sifat otoriter. Lebih tepatnya aku memiliki keotoriteran yang begitu kuat saat SD-SMA, masa SMA-kuliah adalah masa titik balik sifat otoriterku karena aku sudah mulai menyadari kalau ternyata aku sangat otoriter -walaupun sudah sadar dan mencoba mengurangi bukan berarti sifat itu hilang 100%-. Oleh karena itu, aku merasa aku belum siap ada di posisi pemimpin.
Keras Kepala
Sifat ini adalah sifat yang melekat pada pribadi yang otoriter. Aku selalu merasa opiniku benar -semua opiniku-. Karena itu, sangat sulit bagi seseorang untuk mematahkan opiniku. Aku akan berusaha mempertahankannya entah itu benar atau salah. Namun, di masa titik balik, aku sadar bahwa tidak semua opiniku itu benar. Pengetahuanku terbatas, daya berfikirku juga, tidak selamanya ideku dan opiniku adalah yang terbaik untuk dilakukan. Orang lain, dengan cara berfikirnya yang berbeda dengan pengetahuannya yang berbeda, dengan pengalamannya yang berbeda, juga memiliki peluang memiliki opini dan ide yang benar dan terbaik untuk dilakukan.Dan yang terpenting dalam bermusyawarah adalah bukan agar opini pribadi yang disetujui oleh forum, namun opini yang terbaik. sedangkan yang terbaik tidak selamanya bersumber dari kita sendiri. Dengan sisa-sisa keotoriteranku itu, jelas aku masih memiliki sifat keras kepala yang tersisa. Hal ini jelas akan menyusahkan forum jika aku berlebihan dalam mempertahankan opiniku yang ternyata bukanlah opini terbaik untuk mufakat
Kaku
Sifatku yang begitu kaku. Dari kecil aku jarang bersosialisasi. Aku hanya menghabiskan
waktuku di rumah. Aku tidak humoris karena aku begitu serius. Aku tidak bisa rileks dan merilekskan suasana. Forum butuh pemimpin yang bisa mencairkan suasana di saat fotum dalam ketegangan.
Pemarah
Sifatku yang pemarah. Aku selalu sulit melihat jalan
keluar ketika ada kesalahan yang terjadi baik karena aku atau orang lain. Ketika sudah menemui jalan buntu untuk menemui solusi aku cenderung marah daripada sabar. Padahal, kadang-kadang jalan keluarnya sepele jika saja aku mau sedikit lebih rileks dan sabar. Mungkin ini akibat kurang sosialisasi alias kurang pergaulan.
Itulah sifat yang masih melekat
pada diriku, yang jelas membuatku akhirnya berfikir bahwa menjadi pemimpin
bukan kemampuanku saat ini. Aku masih baru memasuki tahap titik balik namun belum benar-benar berubah dan pantas menjadi pemimpin. Semua kekhawatiranku menjadi pemimpin tidak bisa diredam dengan kata-kata mas D**** "Aku akan selalu dampingi kamu memimpin organisasi ini". Tidak, tidak sesederhana itu membuat aku bisa berhenti khawatir dengan sifatku sendiri. Aku tidak yakin sifatku akan terus membaik seiring dengan berjalannya aku menjadi pemimpin organisasi ini. Sifatku hanya akan jadi bom waktu jika ia terus memburuk. Itu hanya akan jadi bom waktu yang meledak di saat waktu yang tak terduga yang bisa mengahncurkan diriku sendiri dan orang disekitarku seperti yangterjadi di masa lalu. berkali-kali aku katakan, "Tidak bisakah aku hanya jadi sekertaris yang akan terus mendampingi pemimpin, aku terlalu takut beradadi posisi itu?". Namun, lagi-lagi karena keterpaksaan, aku tidak
bisa mengelak, tidak bisa mengatakan “tidak”. Antara takut gagal dan
menyelipkan keoptimisan, aku menerima posisi ini.
6 bulan menjalani kepemimpinan
Direndahkan anggota
Aku sudah menyadari kekuranganku sejak lama. Dengan
kekuranganku itu, aku menghakimi diri sendiri untuk tidak memaksakan kehendak. Aku mengikuti opini mayoritas, pasrah, dan gampang mengalah. Aku tidak
menjadi pemimpin yang tegas. Sampai-sampai aku direndahkan oleh sahabatku
sendiri yang menjadi anggota organisasi ini - Ex anggota -. Entah, apakah aku direndahkan karena itu memang sifatnya demikian, atau karena memang aku yang tidak tegas
–tidak percaya diri dalam mengambil keputusan- namun belakangan aku tahu, dua hal tersebut benar adanya.
Dicap Tidak Tegas
Menjadi pemimpin harus berani tegas pada anggota. Aku tidak
berani tegas, marah, atau mengingatkan dengan lantang hanya karena
ketidakpercayaandiriku dalam bertindak. Kekuranganku dan kesalahanku di masa
lalu, kehilangan orang berharga satu organisasi, masih membayangiku untuk tidak
melakukan hal yang sama. Aku tidak berani marah ketika mereka salah. Aku tidak
berani membentak karena takut kehilangan lagi. Aku tidak tahu apa yang harus
aku lakukan agar tanggung jawab di organisasi ini dapat terlaksana walaupun
tanpa ketegasan. Namun, kenyataannya bagaimanapun juga di dalam organisasi,
ketegasan memang diperlukan.
Dicap Terlalu Kaku
dan Tegas
Saat aku
menyadari bahwa ketegasan diperlukan, aku mencoba lebih percaya diri dalam bertindak tegas. Sedikit demi sedikit rupanya ketegasan yang aku
lakukan berdampak positif. Aku menjadi percaya diri untuk mengambil sifat
tegas, marah, bahkan membentak agar aturan dan tanggung jawab terlaksana dengan baik. Namun rupanya hal ini mulai merambah dan membangkitkan sifat otoriterku yang tertimbun oleh sifat ketidakpercayaandiriku selama ini. Ambisiku yang
hanya terfokus pada tujuan tanpa memperhatikan perasaan orang lain itu muncul kembali. Akibatnya aku hampir saja kehilangan kasih sayang orang yang paling
mendukungku menjadi koordinator. Hanya karena aku tidak mampu menghargainya dengan membentak dan merahinya dengan kata-kata yang sangat kasar.
Keidealisanku yang mencapnya salah, membuatku merasa pantas dia berhak
dibentak, dimarahi, dan ditindak tegas.
Introspeksi Diri
Keidelisanku membuatku hanya melihat
kebenaran. Aku membagi hidup ini menjadi dua bagian. Orang benar dan orang salah. Benar adalah benar dan salah adalah salah. Sebaik-baiknya orang padaku jika dia melakukan kesalahan apapun aku akan mengatakan dia salah. Sayangnya, aku tidak bisa menyampaikan atau menasehatinya dengan benar. Aku cenderung mengatakan hal sejujurnya dan kata-kataku itu rupanya sangat menyakitkan mereka, walaupun sebenarnya aku tak pernah berniat menyakiti orang yang sedang berbuat kesalahan. Aku hanya tidak bisa mengingatkan orang yang bersalah dengan baik. Apalagi di saat aku lelah, amarahku gampang memuncak, dan aku sangat sulit meredamnya.
“semua orang tidak selalu
benar, orang yang paling kau sayangi pun akan melakukan kesalahan, sesalahnya
mereka, jangan sampai kau mengingatkan mereka dengan cara yang menyakitkan,
jangan dengan cara yang membuatmu bisa kehilangan mereka, apalagi mereka yang
masih tulus menyayangimu, dan tidak beriat menyakitimu. Diskusikan dengan baik,
hargai opini mereka, dan ingatkan mereka dengan kasih sayang. Katakan pada
keidealisanmu, hai idealis tunjukkanlan apa yang benar dan salah namun juga
tunjukkan padaku cara mengingatkan yang baik dan benar.”
Aku mengurangi ambisiku dengan pasrah kepada Allah. Aku meredam ambisiku dengan menasehati diriku sendiri bahwa “Cukup usaha yang terbaik dan berserah diri pada Allah. Kita bisa berharap mencapai sesuatu tapi tidak bisa memaksakan untuk mencapainya. Sebaik-baiknya rencana manusia, rencana Allah adalah yang terbaik. Sebaik-baiknya usaha manusia, Allahlah yang akan membalasnya. Cukup berserah diri kepada Allah.”
Untuk mengatasi mudahnya aku marah, aku sedang berusaha untuk sabar, tetap tenang, dan melihat situasi dengan tenang. Kemarahanku sudah melukai beberapa orang. Sebelum aku marah, aku menasehati diriku “jangan marah, mereka bisa sedih, mereka akan mendengarkan jika kau berbicara dengan baik, semua masalah tentu ada jalan keluar terbaik, jangan marah, jangan kehilangan akal sehat, dan yang terpenting jangan kehilangan kasih sayang mereka padamu.”
End of Menjadi Pemimpin yang baim Part 1
Bersambung