Monday, 12 October 2015

Menjadi Pemimpin yang Baik

“Mas, aku nggak bisa, beneran nggak bisa. Aku masih labil untuk jadi koordinator asisten. Serius mas, kalau aku bisa aku nggak akan nolak.”
“Nggak ran kamu bisa, nggak ada lagi yang lebih cocok jadi koordinator diantara kalian selain kamu. Siapa yang bisa coba? S******, dia masih childish banget. F****, dia jarang ke lab. R****, kamu tau sendiri dia kayak gimana. Ayo ran nggak ada lagi. Masa kamu nggak mau aku lulus? Kalau aku yang jadi koordinator, nanti skripsiku gimana? Please, tolong aku ya. Aku janji nggak akan ninggalin lab dan terus bantu2 kamu.”

        Percakapan itu rasanya masih terkesan dengan jelas, mungkin karena hal itu terlalu sering menjadi topik pembicaraan.
Aku tidak pernah membayangkan impianku menjadi seorang ketua organisasi beberapa tahun yang lalu terwujud saat ini. Dulu, aku sangat ingin menjadi pemimpin sebuah organisasi karena rasanya menjadi pemimpin itu sangatlah membanggakan. Rasanya bila menjadi pemimpin maka semua orang akan menghormatiku. Aku akan diperhitungkan bahkan disegani di lingkungan sosial manapun. Aku akan punya organisasi yang bisa aku kendalikan semauku dan di organisasi itu, aku bisa menjalankan semua ide yang aku punya. Aku bisa mewujudkan semua harapanku yang rata-rata penuh dengan keidealisan. Sejak kecil, aku telah bermimpi menjadi seorang pemimpin.

Namun, seiring dengan perjalanan organisasiku hingga saat ini, aku menjadi paham bahwa menjadi seorang pemimpin bukanlah sekedar memuaskan hasrat untuk dihargai dan mendapat penghormatan dari orang lain. Di sini, di posisi sebagai pemimpin, harus ada rasa tanggung jawab, harus ada kekuatan penuh, harus ada kesabaran, kebijaksanaan, dan yang tidak kalah penting harus ada sifat baik yang menjadi tauladan bagi anggota. Di sini, di titik ini ada beban berat yang harus kubawa.

Satu hal penting lain yang harus aku garis bawahi -yang mematahkan semua pandanganku tentang pemimpin- adalah bahwa menjadi pemimpin bukan hanya sekedar untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri -kehormatan- tapi juga dapat memberi kehormatan, manfaat, dan kesejahteraan pada anggota organisasi dan masyarakat. Dan pemimpin yang sejati adalah bukan hanya menjadi pemimpin yang baik di mata manusia namun tetap menjadi pemimpin yang baik walaupun tak ada manusia yang melihat sebab masih ada Allah swt yang selalu melihat. Itulah pemimpin sejati. Setelah memahami hal tersebut, aku tidak bisa lagi bermimpi untuk menjadi seorang pemimpin. Keinginanku menjadi pemimpin yang hanya sekedar untuk mendapatkan penghormatan dan pencapaian ambisi tidak membuatku pantas menjadi pemimpin atau bahkan hanya sekedar berharap jadi pemimpin. Tidak itu tidak benar. Apalagi sifatku ini yang tidak pantas dimiliki seorang pemimpin.

Otoriter

Belakangan ini aku sadar kalau aku memiliki sifat otoriter. Lebih tepatnya aku memiliki keotoriteran yang begitu kuat saat SD-SMA, masa SMA-kuliah adalah masa titik balik sifat otoriterku karena aku sudah mulai menyadari kalau ternyata aku sangat otoriter -walaupun sudah sadar dan mencoba mengurangi bukan berarti sifat itu hilang 100%-. Oleh karena itu, aku merasa aku belum siap ada di posisi pemimpin.

Keras Kepala

Sifat ini adalah sifat yang melekat pada pribadi yang otoriter. Aku selalu merasa opiniku benar -semua opiniku-. Karena itu, sangat sulit bagi seseorang untuk mematahkan opiniku. Aku akan berusaha mempertahankannya entah itu benar atau salah. Namun, di masa titik balik, aku sadar bahwa tidak semua opiniku itu benar. Pengetahuanku terbatas, daya berfikirku juga, tidak selamanya ideku dan opiniku adalah yang terbaik untuk dilakukan. Orang lain, dengan cara berfikirnya yang berbeda dengan pengetahuannya yang berbeda, dengan pengalamannya yang berbeda, juga memiliki peluang memiliki opini dan ide yang benar dan terbaik untuk dilakukan.Dan yang terpenting dalam bermusyawarah adalah bukan agar opini pribadi yang disetujui oleh forum, namun opini yang terbaik. sedangkan yang terbaik tidak selamanya bersumber dari kita sendiri. Dengan sisa-sisa keotoriteranku itu, jelas aku masih memiliki sifat keras kepala yang tersisa. Hal ini jelas akan menyusahkan forum jika aku berlebihan dalam mempertahankan opiniku yang ternyata bukanlah opini terbaik untuk mufakat

Kaku

Sifatku yang begitu kaku. Dari kecil aku jarang bersosialisasi. Aku hanya menghabiskan waktuku di rumah. Aku tidak humoris karena aku begitu serius. Aku tidak bisa rileks dan merilekskan suasana. Forum butuh pemimpin yang bisa mencairkan suasana di saat fotum dalam ketegangan.

Pemarah

Sifatku yang pemarah. Aku selalu sulit melihat jalan keluar ketika ada kesalahan yang terjadi baik karena aku atau orang lain. Ketika sudah menemui jalan buntu untuk menemui solusi aku cenderung marah daripada sabar. Padahal, kadang-kadang jalan keluarnya sepele jika saja aku mau sedikit lebih rileks dan sabar. Mungkin ini akibat kurang sosialisasi alias kurang pergaulan.


Itulah sifat yang masih melekat pada diriku, yang jelas membuatku akhirnya berfikir bahwa menjadi pemimpin bukan kemampuanku saat ini. Aku masih baru memasuki tahap titik balik namun belum benar-benar berubah dan pantas menjadi pemimpin. Semua kekhawatiranku menjadi pemimpin tidak bisa diredam dengan kata-kata mas D**** "Aku akan selalu dampingi kamu memimpin organisasi ini". Tidak, tidak sesederhana itu membuat aku bisa berhenti khawatir dengan sifatku sendiri. Aku tidak yakin sifatku akan terus membaik seiring dengan berjalannya aku menjadi pemimpin organisasi ini. Sifatku hanya akan jadi bom waktu jika ia terus memburuk. Itu hanya akan jadi bom waktu yang meledak di saat waktu yang tak terduga yang bisa mengahncurkan diriku sendiri dan orang disekitarku seperti yangterjadi di masa lalu. berkali-kali aku katakan, "Tidak bisakah aku hanya jadi sekertaris yang akan terus mendampingi pemimpin, aku terlalu takut beradadi posisi itu?". Namun, lagi-lagi karena keterpaksaan, aku tidak bisa mengelak, tidak bisa mengatakan “tidak”. Antara takut gagal dan menyelipkan keoptimisan, aku menerima posisi ini.

6 bulan menjalani kepemimpinan

Direndahkan anggota

Aku sudah menyadari kekuranganku sejak lama. Dengan kekuranganku itu, aku menghakimi diri sendiri untuk tidak memaksakan kehendak. Aku mengikuti opini mayoritas, pasrah, dan gampang mengalah. Aku tidak menjadi pemimpin yang tegas. Sampai-sampai aku direndahkan oleh sahabatku sendiri yang menjadi anggota organisasi ini - Ex anggota -. Entah, apakah aku direndahkan karena itu memang sifatnya demikian, atau karena memang aku yang tidak tegas –tidak percaya diri dalam mengambil keputusan- namun belakangan aku tahu, dua hal tersebut benar adanya.

Dicap Tidak Tegas

Menjadi pemimpin harus berani tegas pada anggota. Aku tidak berani tegas, marah, atau mengingatkan dengan lantang hanya karena ketidakpercayaandiriku dalam bertindak. Kekuranganku dan kesalahanku di masa lalu, kehilangan orang berharga satu organisasi, masih membayangiku untuk tidak melakukan hal yang sama. Aku tidak berani marah ketika mereka salah. Aku tidak berani membentak karena takut kehilangan lagi. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan agar tanggung jawab di organisasi ini dapat terlaksana walaupun tanpa ketegasan. Namun, kenyataannya bagaimanapun juga di dalam organisasi, ketegasan memang diperlukan.

Dicap Terlalu Kaku dan Tegas

            Saat aku menyadari bahwa ketegasan diperlukan, aku mencoba lebih percaya diri dalam bertindak tegas. Sedikit demi sedikit rupanya ketegasan yang aku lakukan berdampak positif. Aku menjadi percaya diri untuk mengambil sifat tegas, marah, bahkan membentak agar aturan dan tanggung jawab terlaksana dengan baik. Namun rupanya hal ini mulai merambah dan membangkitkan sifat otoriterku yang tertimbun oleh sifat ketidakpercayaandiriku selama ini. Ambisiku yang hanya terfokus pada tujuan tanpa memperhatikan perasaan orang lain itu muncul kembali. Akibatnya aku hampir saja kehilangan kasih sayang orang yang paling mendukungku menjadi koordinator. Hanya karena aku tidak mampu menghargainya dengan membentak dan merahinya dengan kata-kata yang sangat kasar. Keidealisanku yang mencapnya salah, membuatku merasa pantas dia berhak dibentak, dimarahi, dan ditindak tegas. 

Introspeksi Diri

Keidelisanku membuatku hanya melihat kebenaran. Aku membagi hidup ini menjadi dua bagian. Orang benar dan orang salah. Benar adalah benar dan salah adalah salah. Sebaik-baiknya orang padaku jika dia melakukan kesalahan apapun aku akan mengatakan dia salah. Sayangnya, aku tidak bisa menyampaikan atau menasehatinya dengan benar. Aku cenderung mengatakan hal sejujurnya dan kata-kataku itu rupanya sangat menyakitkan mereka, walaupun sebenarnya aku tak pernah berniat menyakiti orang yang sedang berbuat kesalahan. Aku hanya tidak bisa mengingatkan orang yang bersalah dengan baik. Apalagi di saat aku lelah, amarahku gampang memuncak, dan aku sangat sulit meredamnya. 

“semua orang tidak selalu benar, orang yang paling kau sayangi pun akan melakukan kesalahan, sesalahnya mereka, jangan sampai kau mengingatkan mereka dengan cara yang menyakitkan, jangan dengan cara yang membuatmu bisa kehilangan mereka, apalagi mereka yang masih tulus menyayangimu, dan tidak beriat menyakitimu. Diskusikan dengan baik, hargai opini mereka, dan ingatkan mereka dengan kasih sayang. Katakan pada keidealisanmu, hai idealis tunjukkanlan apa yang benar dan salah namun juga tunjukkan padaku cara mengingatkan yang baik dan benar.”

Aku mengurangi ambisiku dengan pasrah kepada Allah. Aku meredam ambisiku dengan menasehati diriku sendiri bahwa “Cukup usaha yang terbaik dan berserah diri pada Allah. Kita bisa berharap mencapai sesuatu tapi tidak bisa memaksakan untuk mencapainya. Sebaik-baiknya rencana manusia, rencana Allah adalah yang terbaik. Sebaik-baiknya usaha manusia, Allahlah yang akan membalasnya. Cukup berserah diri kepada Allah.”

Untuk mengatasi mudahnya aku marah, aku sedang berusaha untuk sabar, tetap tenang, dan melihat situasi dengan tenang. Kemarahanku sudah melukai beberapa orang. Sebelum aku marah, aku menasehati diriku “jangan marah, mereka bisa sedih, mereka akan mendengarkan jika kau berbicara dengan baik, semua masalah tentu ada jalan keluar terbaik, jangan marah, jangan kehilangan akal sehat, dan yang terpenting jangan kehilangan kasih sayang mereka padamu.”

End of Menjadi Pemimpin yang baim Part 1


Bersambung


Tuesday, 30 June 2015

People Judge

"Apapun yang kau lakukan, kau merasa seolah-olah dunia sedang memberi sorotannya padamu,  dimana hal yang baik akan memberi pujian, sedangkan yang tidak baik akan memberi hujatan. Apapun yang terjadi, hal yang benar yang harus diperjuangkan, bukan karena kau ingin membela yang benar atau menjadi yang benar, itu karena kau takut mendapatkan penghakiman sehingga hanya ingin melakukan kebenaran."

Kali ini aku ingin membahas sebuah penyakit psikologiku yang aku beri nama Pobhia People Judge. Apakah ini berbahaya? :) Penyakit ini nggak berbahaya untuk orang lain kok tapi berbahaya untuk penderitanya sendiri. Apa anda salah satu penderitanya? Semoga tidak ya. Namun jika mengalami hal yang sama, tidak ada salahnya membaca artikel ini sampai habis. Semoga bermanfaat :)


Phobia People judge


Phobia people judge adalah penyakit psikologi yang tidak dibahas di dalam ilmu psikologi saat ini. Mungkin lebih tepatnya aku belum menemukan pembahasan masalah kejiwaan ini di psikologi. Bisa jadi sudah dibahas namun dengan nama yang berbeda. Karena aku belum menemukannya maka aku memberi nama Phobia People Judge. Phobia memiliki arti takut dan frase kata "people judge" memiliki arti "penghakiman orang lain" sehingga jika digabungkan artinya adalah "takut akan penghakiman orang lain". 

Phobia people judge adalah masalah kejiwaan yang sangat besar buatku. Aku adalah penderitanya. Aku selalu terbayang dengan penilaian orang lain pada apa yang aku lakukan. Rasa tidak nyaman selalu muncul saat berinteraksi dengan orang lain karena aku selalu takut dengan penilaian buruk. Akibatnya, aku selalu ragu-ragu dalam bertindak atau mengambil keputusan. Bukan keragu-raguan biasa tapi benar-benar sangat ragu dalam setiap tindakan. Aku harus bilang apa, menjawab apa, memilih apa dsb. 

Tertekan? Sangat. Aku selalu tertekan karena selalu berusaha melakukan segala tugasku dengan benar, bukan karena aku anak yang lurus, rajin, dan pintar, tapi mungkin lebih pada rasa takut akan penghakiman orang lain jika aku melakukan kesalahan. Saat itu, orang yang paling membuat iri adalah mereka yang tak begitu peduli pada penilaian orang lain. Santai menjalani hidup dan fun dengan apa adanya mereka dengan kata lain tidak memaksakan diri sepertiku. Kesannya hidupku mengenaskan sekali ya hehe tapi itu kenyataan.

Aku selalu berusaha agar semua tugas yang diberikan padaku sempurna sehingga tak ada celah bagi orang lain menghakimiku. Mengerjakan setiap tugas dengan baik itu tidak mudah. Itu sangat melelahkan. Tapi sedihnya, aku tidak tau caranya beristirahat dari penyakit itu. (Please dont cry! Cerita ini nggak sad ending hehe)

Aku tidak pernah menemukan orang yang seragu-ragu aku dalam bertindak. Sadar kalau aku berbeda, psikologiku tidak normal dalam hal ini, aku mulai mencari tentang penyakit-penyakit kejiwaan. Awalnya bahkan ingin ke psikiater tapi sepertinya tidak ada di kotaku. Namun, ada hal yang aku temukan yang merubah pandanganku. Bisa dibilang aku mulai terapi menghilangkan ketakutan pada Phobia People Judge sejak menemukan teori ini.

Teori Humanistic

Sedikit berat namun semoga tetap ringan dibaca :). Akhirnya aku menemukan sebuah teori psikologi yang bisa menjadi pencerah. Abaraham Maslow pakar psikologi mengatakan bahwa salah satu kebutuhan psikis manusia adalah "penghargaan" berupa pujian, status, jabatan, kehormatan, reputasi dsb. So, dalam taraf ini wajar seseorang ingin mendapat pujian. Namun, bukan berarti aku menganggap aku normal setelah membaca ini. Menurutku, ketakutakan pada penilaian buruk orang lain dan hanya mengharap penilaian baik masihlah sebuah kesalahan karena sifatku yang ragu-ragu masih berlebihan, takut bertindak ini itu masih menghantui. 

So, lanjutan pembahasan teori itu mencerahkan pikiranku lagi. Ada 5 tingkatan kebutuhan dasar manusia:
1. Kebutuhan fisiologis dasar : sandang, pangan, papan.
2. Kebutuhan akan rasa aman : merasa aman dari kejahatan, bencana alam, dsb
3. Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi
4. Kebutuhan untuk dihargai
5. Kebutuhan untuk aktualisasi diri

Tingkatan paling dasar adalah fisiologi dasar seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Jika tingkatan 1 sudah terpenuhi maka tingkatan kedua sudah terpenuhi maka akan timbul kebutuhan yang ketiga. Jika kebutuhan ketiga sudah terpenuhi maka akan timbul kebutuhan keempat. Hingga kebutuhan yang tertinggi yaitu aktualisasi diri.

Jika menelaah diriku yang menderita Phobia People Judge, aku sangat menginginkan penilaian baik atau penghargaan dari orang lain, sehingga itu ada pada tingkatan ke-4. Dalam ilmu psikologi yang dijelaskan Abraham Maslow ini, wajar seseorang menginginkan penghargaan. Namun, tingkat kebutuhan manusia tertinggi dan lebih mulia daripada kebutuhan penghargaan yaitu tingkat aktualisasi diri. Pada tingkatan ini orang sudah mengabaikan penghargaan, semua hal yang dikerjakan akan dikerjakan sebaik-baiknya bukan untuk pujian tapi untuk kepuasan diri. Orang yang mencapai tingkatan ini terbiasa mengerjakan seuatu dengan baik, ia tidak mengutamakan penghargaan, ia sudah baik tanpa pujian, reputasi, dan yang lain dan inilah tingkatan yang belum bisa aku capai. 



What must to do next?

Ternyata untuk menyembuhkan penyakit Phobia People Judgeku jawabannya ada pada tingkatan nomor 5 yaitu aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah upaya untuk memaksimalkan kemampuan yang dimiliki untuk mencapai hasil yang baik. Bedanya bukan untuk penghargaan namun kepuasan diri. Seseorang tidak perlu mengharap pujian atas apa yang dilakukan, tidak perlu takut dengan penghakiman, karena ia sudah yakin apa yang dilakukannya baik. Walaupun mendapat penghakiman buruk ia tidak akan tumbang, begitu pula jika ia mendapatkan penghakiman baik jiwanya tidak melayang, tetap low profile dan down to earth :)
Bila aku kaitkan dengan ajaran dalam agama Islam, maka apapun tugas yang diemban manusia seharusnya tidak diupayakan untuk mendapat penilaian yang baik dari manusia namun karena seorang muslim berupaya melakukan apapun di dunia ini dengan baik hanya untuk-Nya. Penderita Phobia People Judge perlu belajar mengabaikan penghakiman orang lain dan fokus pada bekerja dengan baik dengan ikhlas, tidak perlu memaksakan diri, dan tetap berserah pada-Nya.

Siapapun yang merasa menderita Phobia People Judge semoga kita cepat sembuh dari ketamakan pada pujian dunia :)

Terimakasih
Semoga bermanfaat ;)

Wednesday, 11 March 2015

Ujian Hidupku: Broken Home

Aku tidak begitu iri melihat teman-temanku memiliki harta yang banyak
Tapi aku sangat iri jika melihat mereka memiliki keluarga yang harmonis
Aku tidak begitu iri melihat teman-teman yang memiliki pasangan
Tapi aku sangat iri melihat pasangan paruh baya yang masih mesra dan membayangkan ayah dan ibuku juga bisa demikian adanya
Aku tidak begitu iri melihat teman-temanku sekolah di universitas ternama
Tapi aku sangat iri melihat mereka yang berprestasi walau dengan keterbatasan ekonomi
Aku tidak begitu iri pada mereka yang bangga dengan benda bermerk yang mereka punya jika itu masih pemberian orang tua
Tapi aku sangat iri pada mereka yang mampu hidup mandiri, membeli barang-barang bermerk, modis, cantik, hasil jerih payah mereka sendiri

Aku memahami jika setiap manusia sebelum ia diminta pertanggungjawabannya kelak harus melewati hidup di dunia beserta dengan ujiannya. Tak semua manusia memiliki ujian yang sama. Ada yang diuji lewat keluarga, ada yang diuji lewat karier, ada yang diuji ekonominya, ada yang diuji kesetiannya, ada yang diuji kesabarannya, ada yang diuji keimannanya, ketaqwaannya dsb. Mungkin, apa yang kita usahakan untuk melewati ujian itulah yang kelak akan dimintapertanggungjawabannya. Mungkin hal itulah yang kelak akan dipertanyakan seperti mengapa kau melakukan itu manusia-Ku? Jika alasan manusia tak berdasarkan karena-Nya, tak sesuai dengan perintah dan larangan-Nya maka manusia tersebut akan mendapat hukuman atas perbuatan-Nya. Allah yang maha tahu apa yang kita lakukan, yang maha tahu apa yang kita niatkan, yang maha tahu apa yang ada di dalam hati ini bahkan sebelum itu terucapkan oleh bibir kita adalah Zat yang kita tidak akan pernah bisa menyembunyikan apapun darinya. 

Karena itulah Allah mengatakan bahwa ia adalah Hakim yang seadil-adilnya. 
Tak perlu bukti. Tak perlu saksi.
Ia yang Maha Mengetahui, Maha Melihat, dan Maha Mendengar 

Apapun ujian di dalam hidup ini, manusia memiliki waktu untuk berusaha melewatinya, memiliki kesmpatan untuk memilih jalan mana yang ia tempuh untuk melewati ujian itu. Bukan hasilnya namun prosesnya-lah yang akan dimintapertanggungjawaban oleh-Nya kelak. 

Seberapa kuat usaha kita agar melewati ujian tersebut tanpa sedikitpun melupakan-Nya, tanpa melanggar perintah-Nya?
Seberapa kuat usaha kita agar tetap berpegang teguh pada tuntunan-Nya?
Seberapa kuat usaha kita agar tidak tergoda dan terjerumus pada hal-hal yang dilarang-Nya?

Begitu juga dalam hidupku ini yang tidak lepas dari ujian
Aku memahami bahwa hidupku diuji pada ketidakharmonisan keluarga yang membesarkanku
Aku diuji dalam menyikapi kehancuran rumah tangga ayah ibuku
Aku diuji bagaimana aku bisa melewati semua ini tanpa menjerumuskanku pada kufur nikmat

Aku pernah berbicara dan berpesan pada beberapa kawan
Kelak kalau kau menikah, jangan sampai berpisah, yang mendapatkan dampak buruk terbesar dari perisahanmu adalah anak-anakmu kelak

Aku menyadari bahwa beberapa hal yang tidak aku miliki ternyata membuat penyimpangan psikologis yang begitu besar di dalam diriku
Broken home adalah penyebab aku tidak memiliki apa yang harus aku miliki, dan mungkin broken homelah yang merupakan salah satu penyebab terbesar ketidaksehatan psikologisku hingga saat ini
Namun aku terus mendiagnosanya secara pribadi yang juga aku tulis tahapannya di blogku ini, yang aku cari obatnya agar aku bisa menjadi manusia dengan psikologis yang sehat

Dibesarkan dalam kehancuran rumah tangga membuatku kekurangan perhatian, kasih sayang, pujian, rasa aman, percaya diri
Broken home membuatku tidak memiliki pemandangan "keluarga yang sedang makan bersama" di ruang makan
Broken home membuatku tidak memiliki pemandangan "ibu yang sedang memasak untuk keluargaku" di dapur
Broken home membuatku tidak memiliki pemandangan "ayah dan ibu yang mesra" di dalam rumah
Broken home membuatku tidak memiliki waktu "bersama ayah dan ibuku setiap harinya"
Broken home membuatku tidak memiliki waktu "diperhatikan, dinasehati, diberi support saat aku lemah, dsb"

Broken home membuatku tak menjadi pribadi yang baik
Aku keras kepala sekeras "pertengkaran ibu dan ayahku" yang jadi pemandangan sejak aku kecil
Aku egois seegois "ayah dan ibuku yang beradu argumen tanpa mau mengalah satu sama lain"

Broken home mendidikku menjadi pribadi yang buruk

Tapi, aku tak menyesali jalan hidupku
Aku tau ini adalah bagian dari ujian hidup
Aku tau setiap manusia akan diuji dengan ujian yang berbeda
Mungkin ujianku adalah hidup dan dibesarkan dalam ketidakharmonisan keluarga

Aku menyadari semua ini dengan seiringnya waktu berjalan
Dengan menatap keharmonisan keluarga teman-temanku
Dengan menyelimuti malam dengan tangisan kerinduan keharmonisan keluarga
Dengan menatap kebaikan psikologis anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang hangat, lengkap, dan penuh rasa syukur
Dengan mengamati semua itu dengan rasa rindu luar biasa dan air mata yang tak terelakkan jatuhnya

Aku iri pada semua itu

Tapi, aku tak menyalahkan ayah dan ibuku
Aku tak berandai jika mereka harmonis
Aku tak berandai jika mereka tetap bersama
Aku tak melihat masa lalu
Tak ada gunanya berandai, waktu hanya bisa sekali dilalui karena tidak akan ada jalan untuk melaluinya kembali
Aku hanya memahami jika Allah memberi kekuatan-Nya pada ku, Allah memberi kasih sayang-Nya setiap waktu, Allah memberi kesabaran padaku, Ia juga memberiku banyak kebahagiaan walau tanpa keharmonisan keluarga, Ia mengajarkanku kuat dan tak melihat masa lalu, memberi harapan agar aku dapat memperbaiki diri dan memiliki kebaikan masa depan, Ia memberiku kesempatan untuk melihat kekurangan ini dengan "positif thinking", Ia memberiku kesempatan untuk berfikir lebih dalam dan mengambil langkah yang lebih baik ke depannya "agar psikologisku bisa sehat, agar keluargaku terus bahagia, agar keluargaku kelak tak mengalami hal yang sama". Ia ada di setiap langkahku, setiap susah dan senangku, sehat dan sakitku, menemaniku untuk melewati ujian hidup ini. 

Aku tidak menyesali kekurangan dalam hidupku ini
Aku terus mendapat mukzizat dari-Nya untuk terus menjalani hidup
Teman-teman yang baik, ibu yang kuat, pengalaman-pengalaman yang tak terduga

Aku terus berusaha bersyukur, menghibur hatiku dengan segala nikmat yang aku punya, agar tidak terpuruk dalam kekufuran nikmat yang menjauhkanku pada-Nya

Aku sadar aku belum mencapai keharmonisan hingga hari ini
Tapi aku tidak berhenti berusaha untuk mencapai keharmonisan itu
Dengan terus berusaha, dengan terus bersyukur, dengan terus berjuang dan menikmati semua proses ini dengan bijak


Tulisan ini terinspirasi dari doa ibuku agar kami yang hidup di belahan bumi yang berbeda dapat kembali bersatu, menjalani hidup dengan bahagia, sebahagia masa kecilku yang suka nonton film India, menari-nari bersama ibu, menunggui ibu dan nenek memasak, merengek2 meminta mainan, begitu bahagia jika diajak jalan-jalan keluar kota bersama ayah dan ibu, merengek makan direstoran walau aku masih demam, berlari-larian di dalam rumah bersama adekku, mencoreti dinding dengan pensil warna dan membuat ibuku marah2, mengambil make up ibu dan bersama kakak perempuanku bermain fashion-fashionan, mengambil sapu lidi untuk bermain perang-perangan dengan kakaku yang endingnya kita perang beneran sambil kejar-kejaran menaiki kasur, sofa, pekarangan rumah, mengajak ayahku berdua saja untuk mampir ke toko "Sejati" membeli es krim, snack, dan mainan baru, diam2 meminta uang nenek untuk beli majalah bobo karena ibuku tak pernah memberiku uang untuk beli majalah. Semua masa kecilku itu yang walaupun nakal membuat ibuku tetap rindu pada masa itu. Masa kami semua masih bersama dan bersatu.

Ibu, bersabarlah, aku sedang berjuang menjadi anakmu yang baik, aku sedang berjuang menjadi seorang yang berilmu agar dapat membahagiakanmu, aku tidak menyesal menjadi anakmu, aku tidak menyesal untuk hidup dalam keluarga broken home ini, aku tidak menyesal memilikimu dan bapak, aku sangat menyayangi kalian, biar surga jadi tempat kita semua kembali bersatu, biar surga jadi tempat keharmonisan keluarga kita kelak, di dunia yang fana ini hidup memang tidak sempurna ibu, jangan kau sesali, jangan kau tangisi, setiap manusia memang selalu di uji dan Allah ingin melihat usaha kita, mari kita berusaha untuk agar hidup kita dapat lebih baik lagi, mari kita berusaha untuk memiliki keluarga yang harmonis, agar kebahagiaan ini semakin sempurna, agar kita dijauhkan dari sifat kufur nikmat, bahagialah ibuku, bahagialah selalu, aku sangat mencintaimu, mencintaimu karena Allah 

Wednesday, 25 February 2015

Bapak, Rani Rindu

Pagi ini aku tidak shalat shubuh, lebih tepatnya beberapa hari ini aku bangun di atas jam 6 pagi. Bukan karena aku tidak melakukan kewajibanku tapi memang aku tidak dizinkan shalat. Mungkin periode bulanan ini memang yang menjadi salah satu alasan daya tahan tubuh menurun dan diserang batuk sampai 1 minggu.
Semalam  aku menghabiskan waktu menemani rapat acara HMPS untuk big event mereka sampai jam 11 malam. Untuk tubuh yang sudah lemah karena sakit ditambah pulang larut alhasil aku benar-benar kelelahan dan tidur hingga jam setengah 7 pagi. Sebenarnya aku sempat bangun jam set 5 untuk mematikan alarm shalat shubuh lalu tertidur lagi untuk melanjutkan mimpi. Mimpi kali ini sangat berbedadengan mimpiku sebelumnya. Tentu saja seperti judul tulisanku kali ini, aku bermimpi bertemu dengan alm Bapak.

Bapakku hadir dengan senyum yang merekah di atas sepeda motor bututku. Ia sudah menderukan motor seakan bilang “ayo naik, bapak dan motor sudah siap membawamu”. Lalu aneh bin ajaib, motor itu berubah jadi Revo dan kemudian berubah lagi jadi motor yang lebih keren “Harley”. Mungkin karena mimpi, semua jadi aneh, khayal, dan tak masuk akal. Meskipun demikian semua orang tetap suka bermimpi mungkin karena aneh dan khayalnya itu. Bapak memboncengku dengan senyum tak berkurang dari wajahnya. Aku tak merasa ia sudah tiada dalam mimpi itu. Bagiku ia selalu hidup dan ada menemaniku di dunia ini. Tak ada kesedihan dalam mimpiku, aku memeluknya yang memboncengku melewati berbagai kendaraan dan melewati teman-temanku yang baik mobil elf. Mereka terkejut melihatku bersama seseorang yang asing bagi mereka. Mereka pun bertanya “Siapa itu Ran”. Masih di atas sepeda motor aku melambaikan tangan pada mereka dan tanganku yang lain menunjuk Bapak dan berkata “My Father” dengan sangat bangga. Entah kenapa aku begitu bangga mengenalkan Bapak didepan teman-temanku. Mungkin, walau dalam mimpi aku tidak merasa dia telah di dunia yang berbeda tapi hatiku mungkin tau “aku tak pernah bisa mengenalkan bapak kandungku pada teman-temanku tapi tiba-tiba saja aku bisa”. Mungkin karena itu aku sangat bahagia. Bapak tersenyum senang ketika aku mengenalkannya pada teman-temanku. Namun aku dan bapak tetap melaju dan aku masih memeluk bapakku yang memakai Jaket Hitam favoritnya.
Aku tak pernah memeluk dia seerat itu dulu. Aku tak pernah merasakan sayangku sebesar itu dulu. Aku sangat menyayanginya. Andai itu bukan mimpi.
Harley kami masih melaju, mimpi ini belum berakhir. Di perjalanan panjang yang naik turun seperti medan kota Ruteng, ada peternakan bebek yang sangat luas yang kami lewati. Bebek-bebek itu sangat banyak dan bersih, sehat, dan tambun-tambun. Aku berteriak kegirangan sampai salah menirukan bunyi bebek dengan “petok-petok”. “bapak bebeknya sehat ya petok-petok” kataku pada Bapak. Bapak tertawa, “Iya nanti bapak ajari masakan bebek yang enak”. “Benar ya pak?” Bapakku masih tertawa-tawa dengan meyakinkanku dengan resep masakannya.aku memeluknya senang.
Sayangnya, mimpiku harus berakhir. Mataku terbuka, jendelaku telah diterangi cahaya matahari. Aku melihat diriku yang terbaring di atas kasur dengan selimut merah hati dan tubuh yang menekuk. Aku baru saja terbangun dari mimpi indah. Nafasku terisak mengingat semua itu adalah mimpi. Sakit rasanya jantungku harus bertemu dengan kenytaan. Aku merindukannya sangat dalam. Aku ingin bercerita kepadanya tentang kuliahku, cita-citaku, mama, kakakku, adikku, nenekku, saudaraku, bahkan hingga pria lucu dan bijaksana yang aku suka tapi sangat menyebalkan. Aku ingin cerita semuanya, ingin digoncengnya seperti di dalam mimpi, ingin memeluknya dengan erat. Ingin mengenalkannya pada semua orang “Ini Bapakku. Bapakku yang paling sayang sama aku. Bapakku yang hebat, yang tabah, yang tampan, yang sangat mencintai anak-anaknya”. Kututup tangisanku dengan alfatihah untuknya.

Semoga ia bangga dengan memilikiku karena kebaktianku pada-Nya.




Bapak, Rani Rindu 25 febuari 2015