Monday 17 November 2014

Menjadi Psikolog Untuk Diriku Sendiri (Lagi)

Hari ini aku belajar lagi untuk mengobati penyakit jiwaku Kenapa aku bilang penyakit jiwa? Karena aku merasa sifat itu tidak umum dimiliki orang normal, seperti mudah marah, terlalu kaku, dan tidak menolerir kesalahan. Kali ini akan aku ulas satu persatu. Mengurai semua ini seakan sebuah terapi bagiku untuk mengurai setiap masalah kejiwaan yang aku punya dan mencoba mengobatinya dengan mencontoh cara orang normal bersikap. 

Pagi ini misalnya, aku telat datang ke kampus untuk sebuah acara penting sampai2 dosenku menghubungi untuk segera tiba. Dosenku yang satu ini sering marah pada asisten lain tapi padaku belum pernah sedikitpun. Maka kali ini kalau aku tidak salah ingat adalah pertama kalinya ia memarahiku terang-terangan seperti itu. Anehnya, kali ini aku tidak kesal ketika dimarahi, tidak berusaha membela diri, ataupun berusaha membantah. Aku merasa tenang namun juga sadar bahwa aku salah. Aku hanya tersenyum sendiri menyadari hal ini pagi ini. Biasanya jika aku dimarahi oleh siapapun itu bahkan jika aku tidak bisa membantah maka aku akan mengumpatnya dalam hati. Hari ini aku tidak merasa perlu membantah dan tidak juga mengumpat dalam hati. Aku hanya berfikir, aku salah dan aku harus diam dan tenang ketika nanti dimarahi secara langsung. Jangan mengecawakan lagi. Dan lucunya bukan hanya aku yang teledor hari ini. Asisten lain juga terlambat dan membuat dosenku yang satu ini ngomel sepanjang perjalanan di dalam mobilnya. Aku dan seorang asisten yang duduk di belakang hanya saling senyum menyadari dan menertawai keteledoran kami. Kami sangat menyayangi dosen kami ini. Kami tau dia marah karena kami memang salah.

Dulu, aku tidak bisa merasa setenang itu. Aku selalu takut dengan kesalahan. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak salah karena kesalahan membuatku merasa begitu buruk. Mungkin karena selama ini aku sering berinteraksi baik saat KKN dan magang dengan orang-orang normal, aku mulai mempelajari cara mereka. "Manusia akan selalu melakukan kesalahan dalam hidupnya, tapi jangan takut ketika kau melakukan kesalahan. Hadapilah dengan baik dan tenang." Mungkin ketakutan dalam membuat kesalahan itu juga membuatku sangat disiplin sehingga sangat sulit mentolerir kesalahan orang lain. Bagiku sulit sekali memafkan kesalahan orang lain. Bahkan tidak jarang, keslahan orang lain yang fatal bagiku membuatku sangat sakit hati dan mengabaikannya. Abaian itu semacam kekesalan dan ketidakmampuanku dalam memaafkan. Sekarang, aku tahu kenapa aku sangat disiplin pada diriku sendiri, aku tidak mudah memafkan orang lain, itu karena "Aku tidak mampu memafkan diriku atas kesalahan yang aku lakukan. Karena itulah aku juga sulit memafkan orang lain". Mulai saat ini aku akan mencoba memaafkan kesalahan yang aku buat. Aku akan mencobanya dengan cara-cara yang tak bisa tergambarkan dengan kata-kata saat ini karena itu mungkin adalah sikap refleks atas sebuah refleksi ajaran langsung dari lingkungan di sekitarku yang selama ini aku dapatkan. Aku berharap dan selalu berharap alam bawah sadarku akan merekam dan memberikan refleks positif dalam aku bersikap.

Hari ini aku juga merasakan nyaman dalam berinteraksi. Jika biasanya dalam obrolan aku selalu menjadi pembicara yang berbicara tentang duniaku sendiri yang menurutku akan terdengar hebat maka kali ini point utama yang aku lihat dalam mengobrol adalah bisa membaur dengan apa yang dibicarakan orang lain. Aku tidak lagi berbicara tentang duniaku saja, aku berbicara dengan mereka dengan dunia kita bersama. Tidak ada lagi perasaan ingin terlihat hebat, kalaupun ada aku langsung membuangnya jauh-jauh. Hebat itu bukanlah karena kita lebih baik dari yang lain tapi karena kita memang hebat. Pemikiran ini muncul setelah aku membaca sebuah quote "Kau hebat bukan karena kau lebih hebat dari orang lain tapi karena dirimu memang hebat". Dulu, sebuah ukuran tentang hebat bagiku adalah dengan membandingkan kemampuanku, prestasiku dengan kemampuan dan prestasi orang lain. Saat ini semua paradigma itu seakan terbantah oleh quote itu. Ukuran tentang hebat bukanlah dengan membandingkan kemampuan kita, prestasi kita, dengan kemampuan dan prestasi orang lain tapi membandingkannya dengan tanggung jawab kita sendiri. Quote itu memberi pengaruh besar pada pemikiranku dan mengajarkanku untuk tidak lagi melihat rumput di halaman tetangga. Akupun mulai belajar untuk melihat halaman rumahku sendiri. Sudahkah aku memiliki tanah yang subur di halaman rumahku? Sudahkah aku taburi ia dengan benih-benih rumput dan bunga yang indah? Sudahkah aku siangi ia dari gulma-gulma? Sudahkah ia aku sirami dengan baik? Jika belum, maka aku harus merawat halamanku dengan baik, Halaman yang dirawat dengan baik akan memiliki rumput dan bunga-bunga yang indah. Sekali lagi bukan berarti dengan demikian ia akan menjadi lebih indah dari halaman tetangga. Halaman tetangga tentu juga indah jika dirawat dengan indah. Dan setiap halaman akan memiliki keindahan dengan ciri khasnya masing-masing. Kembali pada kenyamanan interaksi yang mulai aku rasakan. Aku mulai mencoba memahami dan membaur dengan pembicaraan orang lain. Obrolan ringan, humoris, dan spontanitas mulai aku lakukan. Kali ini aku bukan hanya jadi penonton, aku juga jadi pemeran utama. Rasanya nyaman mengetahui hal yangterjadi hari ini. Semuanya mulai terasa normal tapi aku sadar sembuh itu tidak mudah. Masih banyak terapi yang harus aku lakukan untuk menjaga keseimbangan ini. Untuk tidak merasa tertekan, kecil, kaku, takut salah, dan ketidakpercayaan diri. Aku masih berusaha dan tetap berdoa untuk menjadi lebih baik lagi.

God, Thank You. I love You. 






No comments:

Post a Comment